Sabtu, 05 Mei 2012

LAJU MUTASI DAN DETEKSI MUTASI


*      LAJU MUTASI
         Ada dua parameter yang digunakan untuk mengukur kejadian mutasi, yaitu laju mutasi (mutation rate) dan frekuensi mutasi (mutation frequency). Laju mutasi menggambarkan peluang sesuatu macam mutasi tertentu sebagai suatu fungsi dari waktu, sedangkan frekuensi mutasi adalah jumlah kejadian sesuatu macam mutasi tertentu pada suatu macam populasi sel atau populasi individu.
         Pada umumnya laju mutasi yang teramati rendah, tetapi  beberapa gen jelas terlihat sering bermutasi daripada yang lainnya (yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan mutasi spontan yang dikemukakan oleh Gardner). Dikatakan bahwa mutasi spontan jarang terjadi, sekalipun frekuansi yang teramati berbeda dari gen ke gen maupun dari makhluk hidup ke makhlu hidup. Laju mutasi gen-gen tertentupada berbagai makhlu hidup, sedangkan frekunsi mutasi spontan di lokus-lokus tertentu pada berbagai makhluk hidup.
         Dalam hal ini tersirat bahwa kesimpulan tentang laju mutasi yang teramati rendah serta mutasi spontan yang jaran terjadi itu didasarkan pada mutasi yang dampaknya teramati (terdeteksi), dan sama sekali tidak termasuk mutasi yang dampaknya tidak teramati (tidak terdeteksi), apalagi mutasi yang sudah sempat diperbaiki.
         Menurut Gardner dkk, mengatakan bahwa pengukuran frekuensi muatasi ke depan ( forward mutation) berkisar 10-8 hingga 10-10 muatasi yang dapat terdeteksi per pasangan nucleotide per generasi, demikian pula untuk makhluk hidup eukariotik, perkiraan mutasi ke depan berkisar sekitar 10-7 hingga 10-9 mutasi yang dapat terdeteksi per pasangan nucleotide per generasi.
         Seperti yang telah dikemukakan bahwa laju muatasi secara individual memang rendah. Akan tetapi, jika diperhatikan kenyataan bahwa tiap individu makhluk hidup mempunyai banyak gen, dan tiap spesies tersusun dari banyak individu, maka (dalam batas mutasi yang terdeteksi sekalipun) sebenarnya mutasi merupakan peristiwa yang biasa, tidak jarang.
         Pengukuran laju mutasi spontan pada bakteri dan fag elatif mudah disbanding pengukuran pada kelompok-kelompok makhluk hidup yang lebih tinggi. Pengukuran laju mutasi yang lebih mudah pada bakteri dan fag tersebut disebabkan karena kromosom kelompok-kelompok makhluk hidup tingkat rendah tersebut monoploid. Pengukuran laju mutasi pada makhluk hidup memang sangat sulit karena kromosom-kromosom makhluk hidup yzng lebih tinggi bukan monoploid, tetapi (terutama) diploid, keadaan kromosom yang bikan monoploid, (misalkan diploid) memang menyebabkan mutan resesif tidak terdeteksi jika berada dala kondisi heterozigot.

*      DETEKSI MUTASI
Deteksi Mutasi Pada Bakteri Dan Jamur
         Deteksi mutasi pada makhluk hidup monoploid semacam bakteri dan jamur sangat efisien. Dalam hal ini deteksi mutasi tergantung kepada suatu system seleksi yang mudah memisahkan sel-sel mutan dari yang bukan mutan. Prinsip-prinsip umum deteksi mutasi pada bakteri dan jamur berbeda.
         Neurospora crasa adalah jamur yang bersifat monoploid (diploid) pada fase vegetatif.oleh karena itu deteksi mutasi pada fase itu sangat mutah dilakukan dibanding pada fase generatif atau dibanding pada makhlik hidup yang lainnya.

Deteksi Mutasi Pada Drosophila
         Deteksi mutasi pada Drosophila, menggunakan pengukuran laju mutasi letal resesif yang terpaut kromosom kelamin X menggunakan teknik Muller-5. Teknik yang dikembangkan oleh H. J. Muller ini merupakan suatu teknik deteksi mutasi pada Drosophila dan disebut juga teknik CIBVC yaitu suatu inversi yang menekan (menghalangi) peristiwa pindah silang. Selain itu dengan teknik mutasi kromosom X berlekatan atau attached-X procedure. Teknik ini menggunakan individu betina yang memiliki kromosom X berlekatan. Teknik ini dimanfaatkan untuk mendeteksi mutasi morfologi yang resesif bahkan lebih sederhana karena hanya satu generasi yang dibutuhkan.
         Deteksi mutasi pada makhluk hidup monoploid semacam bakteri dan jamur sangat efisien dan bergantung pada suatu sistem seleksi yang mudah memisahkan antara sel mutan dari yang bukan merupakan sel mutan, contohnya pada Neurospora crassa yaitu jamur yang bersifat monoploid (haploid) pada fase vegetatif. Deteksi mutasi pada fase tersebut lebih mudah daripada fase generatif atau dibandingkan dengan makhluk hidup yang lainnya. Konidia monoploid yang mengandung mutan dapat dideteksi dan diisolasi berdasarkan kegagalannya tumbuh pada suatu medium lengkap.

Deteksi Mutasi Pada Tumbuhan Tinggi
         Banyak variasi morfologi tumbuhan tinggi dapat terdeteksi secara sederhana melalui pengamatan visual. Di samping itu ada juga teknik yang digunakan untuk mendeteksi mutasi-mutasi biokimiawi. Teknik pertama adalah melalui teknik analisis komposisi biokimia. Teknik yang kedua adalah menggunakan teknik analisis silsilah. Sifat fenotip yang berlatar belakang genetic semacam ini biasanya muncul sebentar-sebentar sepanjang sejumlah generasi. Seperti diketahui ekspresi fenotip bila yang terpaut otosom “tidak terpaut” pada kondisi heterozigot.
         Selain melalui analisis silsilah, dewasa ini deteksi pada manusia juga dilakukan melalui analisis in vitro. Seperti yang diketahui sel-sel manusia secara rasio sudah dapat dikultur. Deteksi mutasi melalui analisi in vitro yang memanfaatkan kultur sel, dapat didasarkan pada analisis aktivasi enzyme, migrasi protein pada medan elektroforetik, serta pengurutan langsun protein maupun DNA. Deteksi mutasi pada tumbuhan tingkat tinggi. Teknik yang pertama yaitu melalui analisis komposisi biokimia misalnya isolasi protein dari endosperm jagung, hidrolisis protein-protein tersebut serta penetapan komposisi asam amino, misalnya jika dibanding galur-galur yang bukan mutan, mutan apaque 2 mengandung lebih banyak lisin. Teknik yang kedua menggunakan kultur jaringan galur-galur sel tumbuhan pada medium yang sudah tertentu. Dalam hal ini sel-sel tumbuhan diperlukan sebagai mikroorganisme, kebutuhan biokimiawi dapat ditetapkan dengan cara menambah dan mengurangi nutrient-nutrien dalam media kultur. Teknik kedua memiliki keuntungan karena teknik yang berhubungan dengan mutan letal kondosional dapat digunakan terhadap sel-sel tumbuhan pada kultur jaringan, selanjutnya diterapkan untuk genetika tingkat tinggi.


Deteksi Mutasi Pada Manusia
         Deteksi mutasi pada manusia misalnya berkaitan dengan sifat ataupun kelainan tertentu dilakukan dengan bantuan analisis silsilah. Setelah suatu sifat dipastikan menurun selanjutnya diramalkan apakah alela mutan tersebut terpaut kromosom kelamin atau terpaut autosom. Mutasi yang paling mudah dideteksi adalah mutasi dominan. Jika gen mutan dominan terdapat pada kromosom kelamin X maka seorang ayah yang tergolong penderita akan mewariskan ciri fenotip terkait kepada semua anak perempuannya. Sebaliknya jika gen mutan dominan terpaut autosom maka hampir 50% anak (yang berasal dari orang tua heterozigot) diharapkan mewarisi ciri mutan tersebut. Mutasi resesif yang terpaut kromosom kelamin dan alela-alela mutan resesif yang terpaut otosom dapat juga dideteksi dengan bantuan analisis silsilah. Salah satu contoh mutan resesif yang terpaut kromosom kelamin pada manusia adalah yang mengekspresi kelamin hemofili. Ekspresi fenotip bila terpaut autosom tidak terpaut pada kondisi heterozigot. Selain deteksi dengan cara di atas, deteksi mutasi juga dapat dilakukan melalui analisis in vitro yang memanfaatkan kultur sel, dapat didasarkan pada analisis aktivitas enzim dan pengurutan langsung DNA maupun protein

Uji Arnes
         Dikembangkan oleh Bruce Arnes pada awal 1970-an. Uji arnes menggunakan bakteri Sallmonella tryphimurium sebagai organisme uji. Yang digunakan adalah 2 strain S. typhimirium kedua strain itu sama-sama tergolong auksotrofik untuk histidin. Seperti diketahui strain yang bersifat auksotrofik untuk histidin adalah yang membutuhkan tambahan histidin dalam medium pertumbuhan agar dapat hidup (tumbuh). Dari kedua strain itu, pada salah satu strain mutan his dapat ddikembangkan menjadi his+ oleh suatu mutasi pergantian basa, sedangkan pada strain lain mutasi his dapat dikembalikan menjadi his + oleh suatu mutasi pengubah rangka. Kedua strain itu juga memiliki mutan-mutan lain yang memungkinkan semakin tepat digunakan untuk memanipulasi eksperimental. Mutan-mutai lain misalnya yang menyababkan semakin sensitive terhadap mutagenesis akibat aktivasi system perbaikan, serta yang menyebabkan sel semakin permiabel terhadap molekul organic asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar