Sabtu, 05 Mei 2012

Mutasi Kromosom: PERUBAHAN JUMLAH KROMOSOM


Mutasi kromosom mencakup perubahan struktur kromosom dan perubahan jumlah kromosom. Mutasi akibat dari perubahan jumlah kromosom diantaranya sebagai berikut.

1.    Fusi Sentrik dan Fisi Sentrik
       Penggabungan (fusi) kromosom dan pemisahan (fisi) kadang-kadang disebut sebagai perubahan Robertson change (Ayala,dkk. 1984). Fusi kromosom terjadi bilamana dua kromosom homolog bergabung membentuk satu kromosom, sedangkan fisi kromosom terjadi manakala satu kromosom terpisah menjadi dua.
       Fusi kromosom diperkirakan lebih sering terjadi dibanding fisi kromosom. Dalam hubungan ini telah diketahui bahwa fusi kromosom terjadi pada tiap kelompok tumbuhan maupun hewan yang besar; sedangkan peningkatan jumlah kromosom melalui fisi juga dilaporkan pada beberapa kasus, seperti yang terkait dengan marga kadal Anolis. Terkait dengan fusi maupun fisi kromosom tersebut, yang penting untuk dicatat adalah bahwa kedua mutasi kromosom tersebut sebenarnya merupakan fenomena umum ditinjau dari sudut pandang evolusi sudah diketahui bahwa jumlah kromosom haploid pada kebanyakan tumbuhan dan hewan berkisar antara 6-20, sedangkan rentang jumlah kromosom secara keseluruhan adalah antara 1 hingga beberapa ratus;bahkan spesies-spesies dalam sesuatu genus dapat saja memiliki jumlah kromosom yang berbeda, misalnya pada Drosophilla, jumlah kromosom berkisar antara 3-6 pasang.
     Dijelaskan bahwa fisi dan fusi kromosom disebut juga dengan Robetsonian changes. Russel, 1992 dan Cummings, 1994 dalam Corebima, 2011, menyebutkan Robetsonian translocation merupakan suatu tipe translokasi nonresiprok yang berakibat bergabungnya lengan-lengan panjang dari dua kromosom akrosentrik (pada penggabungan tersebut hanya satu sentromer yang disertakan). Familial down Syndrome ini tidak persis sama dengan kelainan down syndrome yang lebih umum dikenal. Down syndrome timbul akibat trisomi 21 yang terkait dengan gagal berpisah kromosom 21 di saat meiosis sebelumnya; sedangkan familial down syndrome ini timbul karena trisomi kromosom 21 khususnya lengan panjang (memang ada 3 buah lengan panjang kromosom 21) dan kejadiannya tidak terkait dengan peristiwa gagal berpisah.
      
2.    Aneuploidi
     Aneuploidi adalah kondisi abnormal yang disebabkan oleh hilangnya satu kromosom atau lebih pada sesuatu pasang kromosom, atau yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah kromosom pada sesuatu pasang kromosom dari jumlah  yang seharusnya (Russel, 1992 dalam Corebima, 2011). Aneuploidi terjadi pada pasangan kromosom yang tergolong autosom maupun gonosom (kromosom kelamin).
       Aneuploidi dibedakan menjadi nullisomi, monosomi, trisomi, tetrasomi, pentasomi dan sebagainya. Pada nullisomi ke dua kromosom dari suatu pasangan kromosom hilang; jumlah kromosom secara keseluruhan dinyatakan sebagai 2n-2 jika nullisomi tersebut hanya terjadi pada satu pasangan kromosom. Pada monosomi hanya satu kromosom dari suatu pasangan kromosom yang hilang, jumlah kromosom secara keseluruhan dinyatakan sebagai 2n-1 (jika monosomi hanya terjadi pada satu pasang kromosom). Pada trisomi jumlah kromosom sesuatu pasangan kromosom bertambah satu; jumlah kromosom secara keseluruhan dinyatakan sebagai 2n+1 (jika trisomi hanya terjadi pada satu pasangan kromosom). Lebih lanjut pemaknaan yang setara diberlakukan untuk tetrasomi, pentasomi dan sebagainya, sehingga jumlah kromosom secara keseluruhan pada tetrasomi dan pentasomi masing-masing 2n+2 dan 2n+3( jika tetrasomi dan pentasomi hanya terjadi pada satu pasangan kromosom). Oleh karena itu bagaimana menyatakan jumlah kromosom secara keseluruhan pada hexasomi, heptasomi, dan oktasomi?. Trisomi, tetrasomi dan seterusnya secara bersama disebut juga sebagai polisomi (Corebima, 2011).
Aneuploidi dapat terjadi dari segregasi yag abnormal (ada peristiwa gagal berpisah) pada saat meiosis. Dari sejarah perkembangan genetika memang tercatat bahwa aneuploidi pertama kali dilaporkan oleh Bridges pada 1916, di saat beliau menemukan fenomena gagal berpisah pada D. Melanogaster. Pada saat itu ditemukan ada individu betina yang memiliki kromosom X dan satu kromosom Y; sebaliknya ada individu jantan yang hanya memiliki satu kromosom X tanpa kromosom Y.
Trisomi ditemukan pada banyak tumbuhan termasuk tanaman budidaya pangan seperti padi, jagung dan gandum. Pada tumbuhan, individu yang mengalami trisomi kadang-kadang memperlihatkan tampilan yang berbeda dari individu normal. Trisomi pada kromosom-kromosom tersebut menimbulkan dampak yang parah belum ditemukannya trisomi pada pasangan kromosom manusia yang lain diduga akibat dampak trisomi tersebut letal.
Pada manusia sudah ditemukan contoh-contoh aneploidi, baik nullisomi, trisomi dan seterusnya. Tiap macam anaploidi tersebut di saat kelahiran. Beberapa contoh informasi lain yang terkait dampak abnormalitas yang ditimbulkan oleh tiap macam aneuploidi. Contoh Sindrom Down dan Sindrom Turner, Sindrom Knifelter.
Sindrom Down yang disebut juga mongolism disebakan oleh trisomi pada kromosom 21. Sindrom Down mengalami keterbelakangan mental parah, mempunyai abnormalitas telapak tangan, raut wajah yang khas, serta tinggi badan di bawah rata-rata. Para penderita ini mencapai umur rata-rata 16 tahun, sekalipun ada pula yang dapat mencapai usia dewasa; jarang mempunyai turunan,melalui aborsi spontan. Sekalipun frekuensi di saat kelahiran adalah satu dalam 700 kelahiran, diperkirakan frekuensi saat pada saat konsepsi sekitar 5x lebih tinggi yaitu sekitar 7,3 di dalam 100. Jelaslah bahwa sekitar 4/5 bagiannya hilang  melaui aborsi spontan. Frekuensi insidensi Sindrom Down meningkat sejalan dengan peningkatan usia ibu, bahkan disebutkan pada usia 40-an tahun frekuensi insidensi sindrom Down sekitar 40x lebih tinggi disbanding frekuensi di usia ibu sekitar 20-an tahun. (Ayala,dkk, 1984 dalam Corebima, 2011).
Sindrom Turner disebabkan oleh monosomi kromosom kelamin X. Dalam hal ini jumlah kromosom X yang seharusnya dua bawah ternyata hanya satu buah. Sindrom Turner ini merupakan satu-satunya tipe monosomi pada manusia yang dapat hidup (Ayala, dkk, 1984 dalam Corebima, 2011). Para penderita sindrom Turner steril, bahkan biasanya sebagai wanita tidak memiliki indung telur, serta yang mengalami tanda-tanda kelamin sekunder terbatas. Ciri lain dari sindrom Turner adalah postur tubuh pendek, rahang abnormal, leher bergelambir, serta berdada bidang.

Sindrom Klinefelter biasanya disebabkan oleh trisomi pada kromosom kelamin berupa XXY, kariotif lain seperti XXYY (tetrasomi), XXXY (tetrasomi), XXXXY (pentasomi) dan XXXXXY (heksasomi) juga bersangkut paut dengan sindrom ini (Ayala, dkk 1984). Para penderita sindrom klinefelter merupakan pria mandul yang memperlihatkan ciri kewanitaan. Dalam hal ini mereka mempunyai testis dam kelenjar prostat yang tidak berkembang, serta dada bidang tetapi mempunyai bulu badan yang jarang. Beberapa penderita yang berkariotip XXY mengalami keterbelakangan mental, sekalipun kebanyakan mempunyai IQ pada rentang normal. Dilain pihak telah diketahui bahwa para penderita yang mempunyai lebih banyak kromosom X lebih besar peluangnya mengalami keterbelakangan mental.


Sindrom Patau disebabkan oleh Trisomi pada kromosom no 13. Para penderita sindrom ini mempunyai bibir sumbing, serta langit-langit terbelah, demikian pula menderita cacat mata, otak serta kardiofaskular yang parah. Biasanya penderita Sindrom ini meninggal pada usia tiga bulan pertama, sekalipun ada pula yang mencapai usia 5 tahun ( Ayala,dkk. 1984).

3.    Monoploidi
            Kejadian yang menyebabkan suatu makhluk hidup, misalnya yang biasa tergolong diploid, hanya mempunyai satu perangkat kromosom disebut monoploidi. Kadang-kadang monoploidi disebut sebagai haploidi (Ayala, dkk., 1984; Russel, 1994 dalam Corebima, 2011), tetapi istilah terakhir ini biasanya digunakan khusus di kalangan sel-sel garnet. Gambar 2.15  memperlihatkan contoh perangkat kromosom monoploid yang dibedakan dari yang diploid dan poliploid.

       Monoploidi jarang terjadi, mungkin karena banyak individu monoploid tak dapat hidup akibat pengaruh gen mutan letal (termasuk yang resesif). Di lain hak spesies tertentu justru' mempunyai individu-individu monoploid sebagai suatu bagian/ kondisi yang normal dalam siklus hidupnya (Corebima, 2011).
       Dewasa ini monoploid secara ekstensif digunakan pada percobaan pemuliaan tanaman. Dalam hal ini sel-sel monoploid diisolasi dari produk meiosis yang haploid di dalam kepala sari. Sel-sel monoploid itu selanjutnya diinduksi sehingga tumbuh dan selanjutnya ditelaah misalnya yang berkaitan dengan sifat- sifat genetik (Russel, 1992 dalam Corebima, 2011). Sel-sel dari suatu induksi monoploid juga dapat diinduksi untuk mengalami mutasi, tanpa setiap kali harus menginduksi mutasi yang resesif.

4.    Poliploidi
            Poliploidi terjadi karena penggandaan perangkat kromosom secara keseluruhan. Dalam hal ini dari individu-individu yang tergolong diploid dapat muncul turunan yang triploid maupun tetraploid. Poliploidi juga dapat menghasilkan individu-individu yang pentaploid, heksaploid dsb.
       Fenomena poliploidi lebih sering dijumpai pada spesies-spesies tumbuhan disbanding spesies hewan. Dikalangan kebanyakan spesies hewan poliploidi memang jarang dijumpai : tetapi banyak kelompok kadal, amphipi serta ikan, poliploidi lazim dijumpai (Klug dan Cummings, 1994 dalam Corebima, 2011).
Berikut beberapa alasan yang dikemukakan oleh Ayala, dkk. 1984 dalam Corebima, 2011 terkait dengan jarangnya poliploidi di hewan antara lain:
1.    Poliploidi mengganggu keseimbangan antara autosom dan kromosom kelamin yang bermanfaat untuk determinasi kelamin.
2.    Kebanyakan hewan melakukan fertelisasi silang; dalam hal ini suatu individu poliploid yang terbararu berbentuk tidak dapat bereproduksi sendiri.
3.    Hewan memiliki perkembangan yang lebih kompleks, yang dapat dipengaruhi oleh perubahan yang disebabkan oleh poliploidi, misalnya dalam kaitannya dengan ukuran sel yang akhirnya mengubah ukuran organ.
4. Jika dikalangan tumbuhan, individu poliploid sering timbul dari duplikasi pada hibrid, tetapi dikalangan hewan hibrid-hibrid biasanya invariabl atau steril.
       Berkenaan dengn kejadian selama mitosis, informasi lain menyebutkan bahwa poliploid dapat juga terjadi akibat penggandaan jumlah perangkat kromosom di dalam sel–sel somatik secara spontan (Ayala, dkk, 1984 dalam Corebima, 2011). Dalam hal ini kromosom berlangsung tanpa diikuti oleh pembelahan sel. (pada individu diploid) kondisi ini dapat berakibat terbentuknya kelompok sel (jaringan) tetraploid, yang pada akhirnya menghasilkan gamet-gamet  diploid, lebih lanjut jika terjadi pembuahan sendiri maka akan menghasilkan zigot tetraploid, tetapi jika terjadi pembuahan yang melibatkan suatu gamet haploid, maka akan terbentuk zigot triploid.
       Berkenaan dengan kejadian yang terkait dengan meiosis, informasi lain menyebutkan bahwa poliploidi dapat terjadi akibat penyimpangan selama meiosis yng menghasilkan gamet-gamet yang tidak mengalami reduksi itu (misalnya individu diploid) bergabung dengan suatu gamet normal (haploid) maka zigot yang terbentuk tergolong triploid; dan sebaliknya jika gamet-gametyang bergabung itu sama-sama tidak mengalami reduksi (pada individu diploid) maka zigot yang terbentuk tergolong tetraploid.
       Poliploid yang terjadi akibat perlakuan, misalnya perlakuan dengan kolkisin (Ayala, dkk, 1984; Russel,1992 Klug dan Cummings, 1994 dalam Corebima, 2011 ). Kolkisin ini tergolong alkaloid yang diperoleh dari tumbuhan Colchum autamnale.  Perlakuan dengan koklisin pada saat mitosis berakibat terhambatnya pembentukan benang spindle mitosis. Dalam hal ini akibat perlakuan maka kromosom yang telah mengalami replikasi tetap tidak terpisah dan tidak dapat masuk ke tahap mitosis anaphase berimigrasi ke kutub-kutub sel. Lebih lanjut jika efek kolkisin itu hilang maka sel itu dapat berlangsung memasuki tahap siklus sel interfase; dan pada keadaan tersebut sel tadi mempunyai jumlah kromosom sebanyak 2 kali lipat. Atas dasar asal usul  kejadiannya poliploidi dibedakan menjadi autopoliploidi dan allopoliploidi.

a.         Autopoliploidi
Menurut (Suwarno, 2008)  autoploid dapat muncul dengan spontan, atau dapat juga dimunculkan melalui induksi penggandaan kromosom pada tanaman dengan tingkat ploidi yang lebih rendah. Autoploid spontan dapat timbul ketika gamet yang tidak direduksi bergabung dan menghasilkan individu dengan empat set kromosom dasar atau genom. Tanaman hasilnya adalah autotetraploid (4x). Jika set kromosom dasar atau genom tanaman asli disebut A, maka kedua diploid akan disebut AA dan autotetraploidnya AAAA. Autoploid dapat diinduksi oleh kejutan lingkungan atau dengan bahan kimia yang mengganggu pembelahan kromosom normal. Beberapa bahan kimia akan menginduksi poliploidi, tetapi yang paling banyak digunakan adalah colchicine atau colcemid.
Menurut Ayala, dkk (1984),  pada autopoliploidi tidak melibatkan spesies yang lain. Dalam hal ini seluruh perangkat kromosom yang sudah mengganda berasal dari spesies yang sama. Atau dengan kata lain perangkat kromosom tambahan adalah milik spesies yang sama tersebut. Sebagai contoh misalnya perangkat kromosom diberi symbol A, maka autopoliploidi mempunyai symbol AAA, sedangkan autotetraploidi bersimbol AAAA.


b.        Allopoliploidi
Alloploid adalah poliploid yang dibuat dengan mengkombinasikan genom dari dua spesies atau lebih, berbeda dari autoploid yang dibentuk oleh multiplikasi set kromosom di dalam spesies. Jika set kromosom dasar spesies pertama adalah A dan set kromosom dasar spesies kedua adalah B, tetua diploid masing-masing akan memiliki genom AA dan BB, dan keturunan hibrida F1 adalah AABB seperti pada Gambar 2.16 (gambar b). Alloploid yang ditemukan di alam umumnya memiliki tingkat kesuburan yang tinggi; sebaliknya mereka tidak dapat bertahan hidup sebagai spesies. Alloploid yang diinduksi secara buatan dapat beragam dari fertil sempurna hingga steril sempurna (Suwarno, 2008).
     Dewasa ini teknik hibridisasi sel somatik juga digunakan untuk menghasilkan tumbuhan allopoliploid (Klug dan Cummings, 1994 dalam Corebima, 2011). Bagan prosedur teknik tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.17. Pada teknik tersebut, sel yang diambil dari daun yang sedang tumbuh dihilangkan dinding selnya sehingga dihasilkan protoplast. Sel-sel dalam wujud protoplast itu dapat dipertahankan dalam kultur, atau distimulasi untuk melakukan fusi dengan protoplast yang lain, sehingga menghasilkan hibrid sel somatik (dalam wujud protoplast) itu dapat diinduksi sehingga tumbuh dan berkembang menjadi tanaman allopoliploid.

 Bagan pembuatan bagian tanaman ataupun tanaman yang allopoliploidi melalui teknik hibridisasi sel somatik
                Berkenaan dengan poliploidi dikenal pula endopoliploidi. Yang dimaksud dengan endopoliploidi  adalah peningkatan jumlah perangkat kromosom yang terjadi akibat replikasi selama endomitosis yang berlangsung dalam inti sel somatik (Klug dan Cummings, 1994 dalam Corebima, 2011). Sel-sel tertentu pada tubuh makhluk hidup diploid sebaliknya tergolong poliploid. Dalam hal ini sel-sel tersebut dikatakan telah mengalami endopoliploidi; pada sel-sel itu replikasi dan pemisahan kromosom berlangsung tanpa diikuti pembelahan inti. Dikatakan lebih lanjut bahwa proses yang mengarah kepada endopoliploidi itulah yang disebut endomitosis.
                Manfaat dari endopoliploidi belum jelas diketahui (Klug dan Cummings, 1994 dalam Corebima, 2011). Di lain pihak proliferasi kopi-kopi kromosom sering terjadi pada sel-sel yang sedang sangat membutuhkan produk gen tertentu. Pada kenyataannya, gen-gen tertentu yang produknya sangat dibutuhkan di tiap sel, secara alami memang ditemukan memiliki jumlah kopi yang banyak; gen-gen RNA ribosom maupun RNA transfer adalah contoh dari gen yang memiliki banyak kopi tersebut. Pada sel-sel makhluk hidup tertentu, keseluruhan genom malahan mengalami replikasi, sehingga laju ekspresi berbagai gen menjadi lebih tinggi. Dengan kata lain terjadi peningkatan jumlah perangkat kromosom akibat replikasi selama endomitosis yang berlangsung dalam inti sel somatik. 

MEKANISME PERBAIKAN DNA, MUTASI DAN ADAPTASI, MUTASI DAN KANKER, APLIKASI PRAKTIS MUTASI, SERTA SAKIT GENETIK MANUSIA YANG DITIMBULKAN OLEH KESALAHAN REPLIKASI DNA DAN KESALAHAN PERBAIKAN DNA


Mekanisme perbaikan DNA
Sel-sel prokariotik maupun eukariotik memiliki sejumlah sistem perbaikan yang berhubungan dengan kerusakan DNA. Semua sistem itu melakukan perbaikan DNA secara enzimatis. Beberapa sistem memperbaiki kerusakan DNA akibat mutasi secara langsung. Sebagian lainnya memotong bagian yang rusak sehingga sementara terbentuk celah satu unting DNA yang selanjutnya pulih karena polimerisasi DNA yang dikatalisasi oleh polimerisasi DNA yang dikatalisis oleh polimerisasi DNA maupun karena aktivitas penyambungan oleh ligase DNA.
Perbaikan Kerusakan DNA Akibat Mutasi secara Langsung
1. Perbaikan oleh aktivitas enzim polimerisasi DNA
            Selain mempunyai aktivitas polimerisasi dalam arah 5’→ 3’, enzim polimerisasi DNA pada bakteri (tidak ada pada eukariotik) juga memiliki aktivitas eksonuklease dalam arah 3’ → 5’. Pengenalan kesalahan insersi nukleotida selama polimerisasi oleh enzim polimerisasi DNA sebagai akibat adanya semacam bonggol pada unting ganda molekul DNA yang ditimbulkan oleh adanya pasangan basa yang salah. Dalam hal ini, mungkin enzim polimerisasi DNA memang tidak akan menambah nukleotida baru pada ujung 3’ jika belum terbentuk ikatan hidrogen pada pasangan nukleotida sebelumnya. Polimerisasi DNA akan terhenti dan tidak berlaku hingga nukleotida yang salah dipotong dan diikuti dengan penggantian nukleotida yan benar dan terbentuk ikatan hidrogen yan diperlukan. Pemotongan nukleotida yan dilakukan oleh aktivitas eksonuklease berlangsung dalam arah 3’ → 5’, kemudian setelah pemotongan selesai aktivitas polimerisasi dalam arah 5’→ 3’ oleh enzim polimerase DNA, kemudian DNA akan pulih.
Peran penting aktivitas eksonuklease dari enzim polimerase DNA yang menekan laju mutasi pada bakteri dapat terlihat pada mutasi gen mutator pada E. Coli. Jika gen-gen mutator pada E. Coli mengalami mutasi, maka frekuensi mutasi pada E. Coli menjadi lebih tinggi. Misalnya, mutasi pada gen mut D mengakibatkan perubahan suatu sub unit ε (epsilon) polimerase III DNA yang menimbulkan cacat pada aktivitas perbaikan arah 3’ → 5’, sehingga banyak nukleotida yan salah tidak sempat diperbaiki.
2. Fotoreaktivasi Dimer Pirimidin yang Diinduksi oleh UV
Proses perbaikan yan dibantu oleh cahaya yang kelihatan dalam rentang 320-370 nm, dimer timin (atau dimer pirimidin lain) langsung berbalik pulih menjadi bentukan semula. Fotoreaktivasi dikatalisasi oleh enzim fotoliase yang berfungsi sebagai ‘pembersih’ sepanjang unting ganda mencari bonggol yang terbentuk akibat dimer timin (atau pirimidin lain) dimana dimer yang tersisa setelah fotoreaktivasi hanya sedikit. Enzim ini juga bersifat universal


Gambar perbaikan suatu timin dimer melalui fotoreaktivasi

3. Perbaikan Kerusakan Akibat Alkilasi
Kerusakan DNA akibat alkilasi dapat dipulihkan oleh enzim perbaikan DNA khusus yang disebut metiltransferase O6-metilguanin atau O5methylguanine methyltransferase yang dikode oleh gen ada, yan dimana enzim tersebut akan menemukan O6-metilguanin pada molekul DNA dan selanjutnya menyingkirkan gugus metil tersebut kemudian DNA tersebut pulih kembali.
Perbaikan Kerusakan DNA dengan Cara Membuang Pasangan Basa
1. Perbaikan melalui pemotongan (excision repair)
Proses perbaikan in memperbaiki dimer pirimidin yang terbentuk akibat induksi cahaya UV. Para peniliti mengisolasi beberapa mutan E.coli yang sensitif terhadap UV. Setelah diradiasi UV, mutan-mutan memperlihatkan laju mutasi dalam gelap yang lebih tinggi daripada normal. Mutan-mutan tersebut antara lain uvr A yang dapat memperbaiki dimer hanya dengan bantuan cahaya. Sedangkan mutan yang mampu memperbaiki dimer dalam kondisi gelap adalah uvr A+.


Gambar bagan kerja perbaikan melalui pemotongan atas dimer pirimidin serta distorsi lain DNA yang dikatalisasi oleh enzim endonuklease uvr ABC.

Sistem perbaikan melalui pemotongan pada E. Coli tidak hanya  memperbaiki dimer pirimidin, tapi juga distorsi lain dari helix DNA yan ditemukan oleh enzim endonuklease uvr ABC yang merupakan gabungan dari enzim uvr A, uvr B, dan uvr C. Enzim ini memotong unting DNA yang rusak pada posisi 8 nukleotida ke arah ujung 5’ dari titik kerusakan dan nukleotida ke arah ujung 3’ dari titik posisi dimer tadi. DNA yan dipotong adalah seukuran 12 nukleotida. Pada celah sepanjang 12 nukleotida tersebut terjadi polimerisasi DNA yang dikatalisis oleh enzim polimerase I DNA sehingga terbentuk penggalan yang baru yang kemudian akan disambung ke penggalan lama dengan enzim ligase DNA.


2. Perbaikan dengan Bantuan Glikosilase
Basa yang rusak dapat disingkirkan dari DNA oleh enzim glikosilase yan dapat mendeteksi basa yang tak lazim dan selanjutnya mengkatalisasi penyingkirannya dari gula deoksiribosa.


Gambar bagan penyingkiran basa yang cacat dalam perbaikan DNA yang dibantu             oleh glikosilase

Aktivitas katalizik enzim glikosilase menimbulkan suatu lubang pada DNA, dimana posisi tersebut disebut tapak AP yang merupakan tapak apurinik (tidak ada purin berupa guanin dan adenin) atau tapak pirimidik (tidak ada pirimidin berupa sitosin atau timin). Lubang tersebut kemudian ditemukan oleh enzim endonuklease AP yang selanjutnya memotong ikatan fosfodiester di samping basa yang lepas tadi. Pemotongan tersebut memungkinkan bekerjanya enzim polimerase I DNA (E. Coli). Kemudian enzim polimerase I menyingkirkan beberapa nukleotida didepan basa yang lepas itu dengan aktivitas eksonuklease dalam arah 5’→ 3’ dan melakukan polimerisasi mengisi celah yan terbentuk dengan menggunakan aktivitas polimerasenya. Pada akhirnya, enzim ligase menyambung penggalan nukleotida baru ke ujung arah 3’ dengan pengglan nukleotida yang lama.
3. Perbaikan Melalui Koreksi Pasangan Basa yang Salah
Sistem perbaikan koreksi pasangan basa yang salah dikode oleh tiga gen, yaitu mut H, mut L, dan mut S (pada E.coli). Enzim tersebut mencari pasangan basa yang salah kemudian mengkatalisasi penyingkiran suatu segmen DNA (untin tunggal) yang mengandung pasangan basa yang salah. Enzim polimerase DNA akan mengkatalisasi polimerisasi pada celah yang terbentuk dan penyambungan hasil polimerisasi ke arah ujung 3’ dengan penggalan yang lama dengan enzim ligase DNA.
 
 Gambar bagan mekanisme perbaikan melalui koreksi pasangan basa yang salah

Enzim koreksi pasangan basa yang salah bekerja dengan pertama kali mengenali unting DNA baru karena pada unting DNA baru belum mengalami metilasi. Setelah dikenali, enzim tersebut menyingkirkan basa yang salah dari unting baru tersebut yang selanjutnya terjadi polimerisasi yang dikatalisis oleh polimerase I DNA kemudian hasilnya disambung oleh ligase DNA.
Mutasi dan Adaptasi
Pada dasarnya setiap mutasi yang terjadi tidak ada kaitannya dengan kepentingan apakah mutasi itu bermanfaat atau bahkan merigikan. Efek mutasi itu baru dikulifikasi menguntungkan atau merugikan setelah dihubungkan dengan habitat lingkungan tempat hidup individu yang mengalami mutasi. Peluang tiap mutan memperbesar daya penyesuaian suatu individu lebih besar manakala populasi tersebut menempati habitat baru atau terjadi perubahan lingkungan.
Mutasi dan Kanker
Seagian besar agen mutasi yang kuat seperti radiasi pengion dan radiasi sinar UV bersifat sebagai penginduksi kanker. Berikut ini merupakan teknik-tekinik yang menguji agen-agen yang bersifat mutagenik atau karsiogenik.
Uji karsinogenitas dilaksanakan dengan memanfaatkan rodentia dan tikus yang baru lahir yang kemudian hewan ini disuntik dengan zat yang akan diuji yang selanjutnya akan diperiksa dalam hubungannya dalam pembentukan tumor. Uji mutagenitas juga sering dilaksanakan dengan cara yang sama. Namun, karena mutasi adalah peristiwa yang sangat jarang maka pengujian semacam ini tidak layak dan daya mutagen yang rendah jarang dideteksi.
Adanya korelasi antara daya mutagen dan daya karsinogen sebenarnya sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa kanker disebabkan mutasi somatik. Sifat umum dari semua tipe kanker adalah bahwa sel-sel kanker yang ganas terus-menerus membelah, padahal sel normal tidak membelah. Dalam hubungan ini terlihat bahawa semua sel kanker kehilangan kontrol terhadap pembelahan sel secara normal  dan berakibat terbentuk tumor.
Aplikasi Praktis Mutasi
1. Mutasi yang Bermanfaat dalam Perakitan Bibit
Sekalipun sebagian besar mutasi tidak menguntungkan, upaya untuk mengembangkan sifat-sifat yang diinginkan melalui mutasi induksi sudah dilakukan oleh para perakit bibit tanaman. Tanaman yang tumbuh dari bibit rakitan itu terbukti dapat menghasilkan panen yang meningkat, kandungan zat yang sesuai dengan yang diharapkan, bahkan tahan terhadap serangan hama dan penyakit.
2. Telaah Proses Biologis melalui Analisis Mutasi
Mutasi sudah digunakan secara ekstensif untuk menangkap jalur terjadinya proses biologis. Urut-urutan tahap pada suatu jalur reaksi dapat ditentukan engan cara mengisolasi dan mempelajari mutasi-mutasi pada gen pengkode enzim-enzim yang terlibat. Karena tiap mutasi akan mengurangi aktivitas satu polipeptida, maka melalui mutasi orang dapat menemukan gamak yang sangat berguna untuk pengungkap proses biologis.


                
Intermediet Y dihasilkan dari prekursor X yang dikatalisis oleh enzim A (produk gen A). Intermediet Y tersebut dapat segera dikonversi menjadi produk Z dengan bantuan enzim B (produk gen B). Pada keadaan semacam ini intermediet Y dapat sangat sedikit jumlahnya sehingga secara biokimia sangat sulit diidentifikasi. Namun, jika gen B mengalami mutasi yang tidak memproduksi enzim B, maka intermediet Y akan sering terakumulasi mencapai kadar yang tinggi sehingga memudahkan upaya isolasi identifikasi.
SAKIT GENETIK MANUSIA YANG DITIMBULKAN OLEH KESALAHAN REPLIKASI DNA DAN KESAAHAN PERBAIKAN DNA
Penderita Xeroderma pigmentosum sangat peka terhadap cahaya matahari, megidap banyak tumor kulit terutama pada bagian tubuh yang terbuka misalnya wajah. Penyakit ini disebabkan oleh mutan resesif homozigot yang diduga bersangkutan dengan suatu gen pengkode protein yang berperan pada perbaikan kerusakan DNA. Enzim yang diduga cacat adalah endonuklease yang berfungsi mengenal dimer timin dan mengkatalisasi tahap pertama perbaikan penyingkiran.

  

Gambar bagan jalur perbaikan penyingkiran untuk melepas dimer timin dari DNA

Analisis genetik atas sel-sel pengidap Xeroderma pigmentosum menunjukkan bahwa mutasi pada sebanyak 6 gen yang berbeda dapat menimbulkan penyakit tersebut. Hal tersebut mudah dipahami karena banyak enzim diketahui tersusun dua atau lebih macam polipeptida dan karena mutasi salah satu gen pengkode polipeptida yang terlibat dalam proses perbaikan yang mempunyai banyak tahap dapat menimbulkan hambatan pada suatu jalur perbaikan.
Anemi Fanconi, ataxia telangiactase,serta sindrom Bloom juga disebabkan oleh mutan-mutan resesif homozigot pada autosom. Ketiga penyakit ini sama-sama akibat dari cacat primer pada jalur perbaikan DNA.

Mutasi Kromosom Perubahan Struktur Kromosom


Mutasi kromosom disebut juga aberasi kromosom. Mutasi kromosom mencakup perubahan struktur kromosom dan perubahan jumlah kromosom, dengan kata lain mutasi kromosom dapat terjadi karena perubahan struktur kromosom dan karena perubahan jumlah kromosom.


MUTASI KROMOSOM KARENA PERUBAHAN STRUKTUR
Dewasa ini dikenal empat macam mutasi kromosom yang terjadi akibat prubahan struktural. Keempat macam mutasi kromosom itu adalah delsi, duplikasi, inversi, dan translokasi. Delesi kadang-kadang terjadi akibat pindah silang pada individu yang heterozigot untuk inversi atau heterozigot untuk tanslokasi. Delesi dan dupliksi tergolong prubahan mutasi genetik pada suatu kromosom. Inversi merupakan suatu perubahan susunan suatu segmen kromosom, sedangkan transloksi tergolong perubahan lokasi sesuatu segmen kromosom. 
Macam aberasi kromosom ini lebih merupakan perubahan pada sesuatu bagian kromosom daripada perubahan kromosom secara keseluruhan atau perubahan perangkat – perangkat kromosom pada suatu genom. Kebanyakan informasi tentang perubahan struktur kromosom diperoleh atas dasar studi atas kromosom – kromosom politen. Dewasa ini dikenal empat macam mutasi kromosom yaitu; delesi, duplikasi, inverse, dan translokasi.
Mutasi kromosom atau aborasi kromosom dapat terjadi secara spontan, tetapi dapat diinduksi oleh perlakuan kmiawi atau perlakuan radiasi. Dikatakan pul bahwa perubahan organisasi kromosom terjadi secara alami sebagai mekanisme pengubahan ekspresi gen sering sebagai bagian dari suatu program pengabungan.



Delesi
Delesi adalah suatu aberasi kromosom(mutasi kromosom) berupa proses perubahan structural yang berakibat hilangnya suatu segmen materi genetic dari suatu kromosom. Jika delesi terjadi dibagian ujung kromosom maka disebut delesi terminal, sedangkan bila delesi terjadi bukan di ujung kromosom maka disebut delesi interkalar.
Delesi terjadi akibat pemutusan kromosom yang diinduksi oleh factor – factor penyebab seperti panas, radiasi, virus, serta senyawa kimia atau bahkan oleh kesalahan pada enzim – enzim rekombinasi. Deteksi delesi dapat terjadi dengan bantuan analisis kariotipe, jika bagian kromosom yang mengalami delesi cukup besar, sehingga dapat terlihat ketika kromosom – kromosom homolog disandingkan. Deteksi delesi juga dapat dilakukan dengan bantuan pengamatan tentang ada tidaknya lengkungan disaat kedua kromosom homolog berpasangan.
Delesi basanya bersifat letal pada kondisi homolog atau pada kondisis homozigot jika delesi terjadi pada kromosom kelamin. Misalnya pada kromososm X. akan tetapi adapula sejumlah kecil delesi pada konisi homozigot yang bersifat letal ditemukan pada jagung, Drosopilla serta makhluk hidup lainnya; pada Echeria coli delesi yang tidak etal bahkan mencakup hingga 1% genom yang dikenal. Di kalangan Drosophil delesi terbesar yang tidak letal dan memungkinkan individu tetap hidup hingga dewasa sampe berjumlah 0,1 % genom. Pada kondisi heterozigot delesi sering menimbulkan efek fenotip.
Contoh delesi yang telah dilaporkan adalah Drosophila dan manusia. Delesi pada Drosophila tersebut mengakibatkan efek Notch. Fenotip dari notch dapat terlihat dengan adanya lekukan sayap pada tepi posterolateral. Sedangkan pada manusia contoh delesi yang terkenal adalah yang menimbulkan sindrom Cri-du-chat. Delesi penyebab hal itu bersifat heterozigot. MutanNotch pada Drosophila  tersebut terput kromosom kelamin X bersifat letal pada kondisi homozigot (betina) dan hemizigot (jantan), jadi hanya pada individ betin heterozigot saja yang ditemukan fenotip mutn seperti terebut. Berkenaan mutan Notch  pada Drosophila tersebut sudah diketahui bahwa pada mutan w (white) akan berperilku sebagai mutan dominan jika mutan Notch ada pada kromosom homolognya. Sebenarnya selain gen mutan w, gen resesif lain yang berada di sekitar loksi w juga homoognya.fenomena gen-gen mutan resesif sebagaimana layaknya gen-en mutan dominan semacam itu disebut sebagai psedodo-minansi. Psedodominansi tersebut karena gen-gen mutan resesif itu terekspresi sendiri, lokus-lokus pasangan pada kroosom homolognya tidak ada lagi akibat telah mengalami delesi. Dalam hubungan inilah psedodominansi merupakan suatu tanda adanya delesi.
Satu contoh delesi yang terkenal pada manusia adalah yang menimbulkan sindrom Cri-du-chat.  Delesi peyebab timbulnya sindrom itu bersifat heterozigot. Delesi terjadi pada lengan pendek kromosom 5. Teriakan para bayi pengidap sindrom ini terdengar seperti bunyi meong kucing. Sindrom itu juga ditandai dengan ukuran kepala yang keil, abnrmitas pertumbuhan yang parah, serta adanya keterbelakangan mental. Para penderita biasanya meninggal pada masa bayi atau awal masa kanak-kanak sekaipun ada juga yang tetap hidup hingga dewasa.
Delesi pada kromosom 5 yang menimbulkn sindrom Cri-du-chatseperti tersebut dapat menckup sekitar searuh lengan pendek kromosom tersebut. Delesi penyebab sindrom ini bahkan sudah dibuktikan oleh kejeune dan yang lainnya kadang-kadang terlibat pada suatu proses translokasi resiprok. Dalam hal ini transloksi resiprok itu mencakup kromosom 15.
Contoh delesi lain pada manusia adalah yang menimbulkan leukimiamyelo-sitis kronis. Delesi tersebut terjadi pad kromosom 22. Sebenarnya delesi pada kromosom 22 menmbulkan leukimia, berkenaan dengan delesi pada kromosom 22 tersebut juga mengalami translokasi menuju kromosom lain. Dalam hal ini sebagian lengan panjang kromosom 22 biasanya ditranslokasikan ke kromosom 9.
Sebenarnya delesi heterozigot pada kromosom manusia seperti yang lain kromsom 4, 13, dan 18 semuanya menimbulkan cacat fisik dan mental yang parah. Dalam hal ini suatu delesi pada kromosom 13 gbersangkut paut dengan retinoblastoma adalah suatu tumor retina mata pada masa kanak-kanak yang jarang. Delesi penyebab retinoblastoma itu sebenarnya menghilangkan gen R.Byang merupakan gen pengkode protein rh yang terdiri dari 928 asam amino.
Delesi heterozigot lain pada manusia yang juga menimbulkan cacat parah adalah yang terjdi pada kromosom 11 khususnya pada pita 11p13. Delesi itu menyebabkan tumor nefroblastoma yang merupakan suatu tumor ginjal terutama pada anak-anak. Mutasi delesi pada kromosom 11 ni bersangkut paut dengan fungs gen WT. gen WT hanya aktif pada sel-sel mesenkim ginja janin, selama waktu singkat disaat pembentukan nefron. Protein yang dikode gen WT tersebut diduga bertanggung jawab bekerja terhadap gen-gen target menghentikan pembelahan sel atau mendorong diferensiasi sel. Protein mutan yang akibat mutasi delesi itu diduga tidak mampu bekerja atas gen-gen target, sehingga pembelahan sel terus berlangsung dan terjadilah tumor.      
Duplikasi
Duplikasi adalah aberasi kromosom yang terjadi karena keberadaan suatu segmen kromosom yang lebih dari satu kali pada kromosom yang sama. Jika segmen yang mengalami duplikasi itu berurutan maka disebut duplikasi tandem. Jika sebaliknya disebut reverse tandem, dan jika duplikasi terletak di ujung kromosom maka disebut duplikasi terminal.
Satu contoh duplikasi adalah yang menimbulkan mata Bar pada D. melogaster.individu  D. melogaster yang bermata Bar memiliki mata serupa celah akibat berkurangnya faset mata. Pewarisan sifat mata Bar ini memperlihatkan ciri semidominan. Duplikas yang menimbukan mata Bar terjadi atas segmen kromosom 16 A dari kromosom X.
Berkenaan dengan duplikasi sudah diketahui pula bahwa pada makhluk hidup eukariot, beberapa gen struktural mempunyai dua atau lebih kopi yang identik per genom (Ayala, dkk., 1984). Di samping itu ada pula gen-gen struktural lain yang sudah terbentuk melalui duplikasi atas sesuatu gen purba, tetapi sudah berubah dan sekarang mengkode polinukleotida-polinukleotida yang agak berbeda. Contoh-contoh gen semacam itu adalah kelompok gen imonoglobulin dan kelompok gen globulin. Dalm hal ini sudah diketahui bahwa urut-urutan pada kelompok gen globulin α sangat mirip dengan yang terdapat pada kelompok gen globulin β (Russel, 1992).  
Kelompok gen globin α (pada manusia) terletak pada kromosom 16 sedangkan kelompok gen globin β terletak pada kromosom 11 (Ayala,dkk.1984). Polipeptida-polipeptida yang dikode gen-gen itu merupakan penyusun protein hemoglobin pada embrio, fetus, dan individu dewasa. Satu gen dan kelompok gen globin α mengkode satu macam polipeptida yang bersama dengan macam polipeptida lain yang dikode oleh satu gen kelompok gen globin β, merupakan penyusun hemoglobin manusia (dewasa). Polipeptida yang dikode oleh satu gen dari kelompok gen globin α itu tersusun dari 41 asam amino, sedangkan yang dikode oleh satu gen dari kelompok globin β tersusun dari 146 asam amino.
Urutan gen globin α1 dan α2 pada kromosom 16 manusia yang serupa urutan-urutan pada segmen-segmen antar gen ψ α – αserta α1 dan α2 juga serupa ψα () adalah suatu pseudogen yang tidak berfungsi lagi akibat akumulasi mutasi titik, segmen antara ψ α - α 2 lebih panjang disbanding antara α 1 dan α2,m mungkin sebagai akibat insersi sekmen ψ α - α 2 atau akibat delesi pada segmen antara α 1 dan α  (Ayala, dkk, 1984).
Berkenaan dengan kopi pada makhlukhidup sudah cukup banyak informasi yang terkait dengan gen pengkode RNA-r. Melalui teknik hibridisasi molekuler diketahui bahwa pada kebanyakan makhluk hidup terdapan banyak kopi gen pengkode RNA-r itu disebut DNA-r. Dalam hubungan ini diketahui bahwa pada E. coli, 0,4 persen genomnya merupakan DNA-r (jumlah tersebut ekivalen dengan 5-10 kopi gen); pada D. melanogaster , 0 ,3 persen genom haploidnya merupakan DNA-r (yang ekivalen dengan 130 kopi gen).
Masih terkait dengan jumlah kopi gen pengkode RNA-r tersebut sudah diketahui fenomena lain yang spektakuler pada Xenopus leavis. Pada cositXenopus leavis terdapat 1500 NOR (Nuclcolar Organizer Region) atau mikronukleolus, yang nerupakan bagian kromusom tempat gen pengkoda RNA-r (Klug dan cummings, 1994). Melalui teknik hibridisasi molekuler diketahui bahwa tiap NOR mengandung 400 kopi gen redundan pengkode RNA-r. Oleh larena itu jumlah kopi gen pengkode RNA-r yang terkandung dalam 1 sel oosit. Xenopus leavis adalah sebanyak 600. 000 ( 1500 X 400 ). Dinyatakan bahwa jumlah kopi gen yang sedemikian banyak itu di- akibatkan oleh amplifikasi melalui proses replikasi selektif DNA-r dan tiap perangkat gen baru dilepaskan dari tempatnya.
Terkait dengan duplikasi segmen-segmen DNA sebagai fenomena evolusioner umum sebagamana yang telah dikemukakan, pada tahun 1970 Susumo Ohno menerbitkan monografinya yang provokalif yaitu Evolution by Gene Duplication (Klug dan Cummings, 1994). Menurut tesisnya doplikasi gen bersifat esensial bagi pemuculan gen-gen baru selama evolusi, Tesis tersebut didasarkan pada anggapan/pandangan bahwa produk gen dari gen-gen esensial yang hanya terdiri dari satu kopi pada genom, demi kelestarian anggota sesuatu spesies tidak dapat diabaikan selama evoluasi. Dalam hal ini gen-gedn tersebut tidak bebas mengakumulasi mutasi  secukupnya untuk mengubah fungsi primernya dan berubah menjadi sesuatu gen baru
Tesis Ohno tersebut didukung oleh penemuan gen-gen yang memilki sejumlah urutan-urutan nukleotida serupa tetapi yang produknya berbeda (Klug dan Cummings, 1994). Contoh-contoh yang terkait gen-gen yang mengkode polipeptida tripsin dan kemotripsin, demikian pula gene families semacam gen-gen yang mengkode berbagai tipe rantai polipeptida globin penyusun hemoglobin.

Inversi
Inversi adalah pembalikan 180o segmen-segmen kromosom (Ayala, dkk, 1984; Russel, 1992; Klug dan Cummings, 1994). Pada inverse ada materi genetic yang hilang. Dalam hal ini yang terjadi adalah perubahan atau penataan kembali urutan linear gen. dikenai dua macam inverse yaitu yang perisentrik dan parasentrik.
Segmen yang mengalami inverse mungkin pendek atau panjang; bahkan dapat juga mencapai sentromer. Dalam hubungan ini jika inverse tersebut mencapai sentromer, maka itu adalah inverse perisentrik dan sebaliknya tidak mencakup sentromer maka itu adalah inverse parasentrik. Inverse parasentrik tidak mengakibatkan perubhan suatu lengan kromosom; sedangkan inverse perisentrik dapat menimbulkan perubahan panjang sesuatu lengan kromosom. Dinyatakan lebih lanjut bahwa inversi dapat menghasilkan gamet-gamet yang menyimpang, dan sebagaimana yang telah dikemukakan inverse terbukti mempunyai peranan besar pada proses evolusi.

Dampak Inversi Terhadap Pembentukan Gamet
            Seperti yang telah disebutkan, inversi memang dapat menghasilkan gamet-gamet yang menyimpang. Pada bagian ini akan dibicarakan dampak inversi terhadap pembentukan gamet, yang dapat menghasilkan gamet-gamet tak lazim atau menyim-pang tersebut.
Dampak inversi terhadap pembentukan gamet tergantung kepada apakah miosis terjadi pada yang heterozigot inversi atau pada individu homozigot inversi. Contoh individu heterozigot mesalnya yang mempunyai urutan segmen kromosom. ABCDEFGH/  ADCBEFGH; sedangkan yang homozigo inversi misalnya ADCBEFGH/  ADCBEFGH. Dalam hal ini jika individu yang mengalami meosi itu menidap inverasi homozigot, maka miosis itu akan beriangsung secara normal, dan tidak ada permasalahan yang terkait dengan duplikasi gen atau delesi (Russel, 1992). Sebaliknya jika individu yang menalami meosis itu mengidap inversi heterozigot maka sinapsis linear yang mormal itu tidak mungkin terwujud selama miosis (Klug dan Cummings, 1994). Sinapsis antara kromosom-kromosom homolog baru akan terwujud jika terbentuk lengkung (loop) yang yang mengandung segmen-segmen yang mengalami inversi (Ayala, dkk, 1984). Lengkung itu tersebut inversion loop.
Jika selama meiosis itu pindah silang tidak terjadi didalam segmen yang terbalik itu (pada individu pengidap inversi heterozigot), maka kromosom- kromosom homolog akan memisah seperti lazimnya dan menghasilkan dua kromatid terbalik (Klug dan Cummings, 1994). Kromatid yang nirmal maupun terbalik itu selanjutnya akan terkandung dalam gamet-gamet hasil meiosis itu. Jika selama meiosis itu, pindah silang terjadi di dalam segmen yang terbalik itu (dalam lengkung inverse), maka akan terbentuk kromatid yang abnormal; dan terbentuknya kromatid yang abnormal itu akan mengakibatkan sebagian gamet hasil meiosis menyimpang dari yang lain.
Hal ini juga akan terjadi jika pindah silang terjadi di dalam lengkung inversi selama meiosis individu pengidap inverse heterozigot yang perisentrik. Dalam hal ini kromatida-kromatida rekombinan yang langsung terlibat pada pertukaran segmen mengalami   duplikasi dan delesi; namun demikian tidak ada kromatid asentrik maupun disentrik yang dihasilkan. Gamet yang memiliki kromatid-kromatid tersebut akan menurunkan embrio mati.
Tidak semua kejadian pindah silang yang berlangsung pada lengkung inverse tersebut akan berakibat munculnya rekombinan yang tidak dapat hidup (Ayala, dkk,1984 ; Russel, 1992). Salah satu contoh perkecualian adalah di saat berlangsungnya pindah silang ganda di dalam lengkung inverse kedua kromosom sama-sama terlibat pada pindah silang. 

TRANSLOKASI
            Pada translokasi terjadi perubahan posisi segmen kromosom maupun urutan gen yang terkandung pada kromosom itu (Ayala, dkk., 1984; Russel, 1992). Translokasi disebut juga ssebagai sebagai transposisi. Translokasi dibedakan menjadi yang intrakromosom dan interkromosom.
            Pada translokasi intrakromosom, perubahan posisi segmen kromosom itu berlangsung di dalam satu kromosom, terbatas pada suatu lengan kromosom atau antar lengan kromosom. Translokasi interkromosom dibedakan menjadi yang nonresiprok dan resiprok. Pada translokasi interkromosomal yang nonresiprok , terjadi perpindahan segmen kromosom dari sesuatu kromosom ke suatu kromosom lain yang nonhomolog. Pada translokasi interkromosomal yang resiprok terjadi perpindahan segmen kromosom timbal balik antara dua kromosom yang nonhomolog.
            Pada individu-individu pengidap translokasi homozigot, dampak genetika dari translokasi adalah berupa perubahan pautan gen. Fenomena semacam itu terjadi pada translokasi intrakromosom maupun yang interkromosom (yang nonresiprok maupun resiprok).
            Dampak translokasi terhadap hasil meiosis berlangsung pada tipe translokasi yang diidap. Pada beberapa kasus, beberapa gamet yang dihasilkan juga mengalami duplikasi atau delesi, oleh karena itu seringkali tidak hidup, salaah satu perkecualian adalah sindrom Down familial yang terjadi akibat duplikasi yang disebabkan oleh translokasi. Dalam hal ini dikatakan bahwasindrom Down familial ini disebabkan oleh translokasi Robertson. Pada translokasi Robertson yang memunculkan sindrom Down familial, lengan panjang kromosom 21 bergabung dengan lengan panjang kromosom 14 atau 15 (Russel,1992).
            Pada strain – strain yang mengidap translokasi resiprok yang homozigot meiosis berlangsung normal karena semua pasangan kromosom dapat bersinapsis menghasilkan bivalen. Akan tetapi pada strain – strain yang mengidap translokasi resiprok yang heterozigot, meiosis berlangsung tidak normal; terbentuk konfigurasi serupa salib pada profase I karena kromosom-kromosom homolog perlu berpasangan.
            Bentukan serupa salib tersebut terdiri dari 4 kromosom yang berpasangan. Dalam hal ini tiap kromosom homolog sebagian terhadap 2 kromosom lain. Lebih lanjut tergantung bagaimana kromosom mengalami segregasi, ada 3 jalur alternatif yang menghasilkan bentukan yang tampakseperti lingkaran dan seperti angka 8 pada metafase I. Segregasi pada anafase I dapat berlangsung melalui 3 cara yang berbeda, menghasilkan 6 tipe gamet. Dari keenam tipe gamet itu, 2 diantaranya fungsional karena mengandung pasangan kromosom yang normal sedangkan satu gamet lainnya mengandung pasangan kromosom  yang sudah mengalami translokasi resiprok. Keempat tipe gamet lain seringkali tidak fungsional karena masing-masing mengandung kromosom yang telah mengalami duplikasi dan delesi.
            Berkenaan dengan gamet yang dihasilkan seperti tersebut dapat diperkirakan bahwa 2/3 gamet tersebut tergolong nonfungsional. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa kromosom-kromosom bermigrasi berpasangan secara acak menuju ke kutub yang berlawanan menuju meiosis. Pada kenyataannya asumsi tersebut tidak seluruhnya valid, tidak seluruh cara segregasi yang mungkin berlangsung pada frekuensi yang sama. Dalam hal ini pasangan gamet yang tidak fungsional itu sebenarnya jarang terjadi; gamet-gamet yang tidak fungsional itu kira-kira mendekati separuh dari gamet yang dihasilkan. Dalam hubungan inilah individu-individu yang telah mengidap translokasi resiprok yang heterozigot dikatakan bersifat semisteril (Ayala, dkk., 1984, Russel, 1992); sebenarnya individu-individu pengidap inversi yang heterozigot juga tergolong semisteril.
            Dalam praktiknya, gamet-gamet hewan yang memiliki segmen-segmen kromosom yang telah berduplikasi atau yang telah mengalami delesi dapat berfungsi tetapi zigot yang terbentuk biasanya mati. Di lain pihak zigot yang terbentuk dapat tetap hidup dan berkembang, jika segmen kromosom  yang berduplikasi atau yang mengalami delesi tergolong kecil. Pada tumbuha, serbuk sari yang memiliki segmen kromosom yang telah berduplikasi atau yang telah mengalami delesi biasanya juga tidak berkembang sempurna; serbuk-serbuk sari semacam itu juga tergolong nonfungsional (Ayala, dkk., 1984; Russel, 1992).